Kiai Pembawa Angin Perubahan

KH. Ali maksum:sang kiai pembawa perubahan

Keberadaan kiai di tengah masyarakat, tak bisa ditepis memiliki peran cukup sentral. Sebab, kiai tak hanya menjadi pemimpin keagamaan, tetapi sekaligus juga sebagai pemimpin sosial-kemasyarakatan. Karena itulah, kiai tidak jarang menjadi rujukan atau tempat bertanya bagi umat dalam berbagai masalah kehidupan, yang tak hanya soal agama, melainkan juga di hampir segala hal yang bersentuhan dengan masalah yang dihadapi umat.

Dengan peran yang cukup sentral itulah, Clifford Geertz kemudian menganggap keberadaan kiai di tengah kehidupan umat tidak ubahnya sebagai makelar budaya. Artinya, di tengah kemajuan jaman, kiai memiliki posisi sebagai penyaring arus budaya untuk kemudian ditransfer kepada umat. Tak pelak jika posisi kiai bisa menjadi pembaru di tengah masyarakat atau justru sebaliknya; tampil sebagai pemimpin tradisional yang kuat memegang tradisi.

Salah satu dari sosok kiai yang bisa dikata membawa angin perubahan dan kemajuan umat itu, tak lain adalah Kiai Haji Ali Maksum. Dengan kiprah dan pengabdian yang telah disuguhkan pada umat, beliau bukan hanya dikenal sebagai pemimpin pesantren, tetapi juga ulama kharismatik, anggota Konstituante dan sekaligus Rais Am yang mengantarkan ke arah perubahan sebab telah memperjuangkan NU kembali ke khittah 26.

Latar Belakang Keluarga KH. Ali Maksum
KH. Ali bin Maksum bin Ahmad, lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, sebuah kota kecil dan tua di bagian timur Jawa Tengah yang masuk dalam wilayah kabupaten Rembang. KH. Ali bin Maksum dilahirkan dari keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Jika ditelusuri dari garis keturunan, tak salah kalau kemudian Ali Maksum bisa tumbuh besar dan menjadi kiai kharismatik di Jawa. Sebab, dari garis keturunan keluarga itu --tidak disangsikan lagi-- telah banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar di Jawa. Selain itu, juga sudah sejak kecil Ali akrab dengan suasana pesantren sehingga hal itu kemudian membentuk watak dan karakternya.

Ayahnya, Mbah Maksum adalah seorang ulama besar dan dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren Al-Hidayah (yang berada tepat di tengah kota Lasem). Selain itu, ayahnya juga dikenal sebagai pendiri organisasi terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) bersama Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy`ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. M. Bisri Syamsuri dan ulama-ulama besar lainnya.

Sang ayah, juga dikenal masyarakat serta sesepuh kiai sebagai orang yang alim. Sebab, tak kurang dari 10 tahun masa hidupnya telah dihabiskan di berbagai pondok pesantren, di antaranya pesantren Sarang (Rembang), Jamsaren (Solo), Termas (Pacitan) dan di Makkah. Selain itu, sang ayah juga pernah berguru Mbah Kholil Bangkalan (Madura), seorang kiai alim dan kharismatik yang telah melahirkan banyak kiai di Jawa.

Sementara itu, ibu Ali Maksum yang bernama Nuriyah juga dikenal nyai yang alim. Itu terbukti setelah diasuh Mbah Maksum secara sorogan, Nuriyah dalam waktu yang singkat sudah berhasil mengkatamkan kitab Tafsir Jalalain, Fathul Mu`in, Riyadhush Shalihin dan kitab-kitab besar lainnya. Tak salah, setelah itu lalu terlibat mengajar para santri. Lebih dari sekedar itu, Nuriyah juga seringkali memberikan ceramah di luar pesantren, seperti dalam acara pernikahan dan pengajian.

Dari hasil pernikahan antara Mbah Maksum dengan Nyai Nuriyah itulah, lahir tiga belas putra-putri, yang delapan di antaranya meninggal sewaktu masih kecil dan Ali Maksum merupakan putra sulung atau tertua.

Pendidikan KH. Ali Maksum
Masa kecil Ali Maksum dihabiskan di pesantren ayahnya, KH Maksum. Karena sang ayah dikenal sebagai kiai besar, maka tidak bisa ditepis kalau pendidikan awal Ali Maksum diawali berguru kepadanya sendiri. Pelajaran utama yang diberikan ayahnya adalah mengaji al-Qur`an. Setelah dianggap lancar, Ali kecil kemudian dikirim sang ayah ke Pekalongan, belajar dan mengaji kepada Kiai Amir.

Selepas dari pekalongan, saat usia Ali Maksum menginjak 12 tahun (tahun 1927), Ali dikirim ke pesantren Termas Pacitan, Jawa Timur untuk mengaji kepada KH. Dimyati. Karena sang ayah benar-benar berharap besar, agar nantinya bisa mengganti peran sang ayah untuk mengasuh pesantren. Sebab saat itu, pesantren Termas termasuk salah satu pesantren besar di Jawa, tentu saja di samping pesantren Tebuireng, Lirboyo dan Lasem sendiri.

Kurang lebih selama delapan tahun, Ali Maksum belajar di Termas, Pacitan. Dalam waktu yang cukup lama itulah, boleh dikata Ali Maksum telah menimba banyak ilmu, selain soal pendidikan kepemimpinan. Sudah menjadi tradisi, karena Ali putra kiai besar, maka di pesantren Termas itu Ali Maksum mendapat penghormatan lebih dari keluarga pesantren. Karenanya, selama mondok itu, Ali Maksum tak tinggal bersama santri lain, tetapi tinggal di rumah komplek (dalem). Kendati demikian, Ali Maksum tetap tidak sombong dan tetap bergau akrab dengan santri-santri yang lain.

Lebih dari itu, karena sebelum mondok ke Termas, Ali Maksum sudah punya bekal ilmu dari sang ayah sehingga saat belajar di pesantren Termas, Ali tak menemukan kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Saat mondok itu, Ali mengikuti pengajian bandongan yang digelar di pesantren, antara lain pengajian kitab Fathul Mu`in, Minhaj Al-Qawim, Al-Asybah Wa Al-Nazhair, Jam` Al-Jawami`, Alfiah Ibn Malik, Jauhar Maknun, Tafsir Jalalain, Shahih bukhari, Shahih Muslim dan juga Ihya` Ulumuddin.

Selain itu, Ali Maksum juga menyempatkan membaca kitab-kitab karangan ulama pembaru di kamarnya sendiri, seperti kitab karya Muhammad Abduh,. Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah yang saat itu boleh dikata tidak lazim dipelajari di dunia pesantren. Rupa-rupanya, Kiai Dimyati tahu akan kebiasaan Ali dan sama sekali tidak melarang atau menegur. Sebab di mata kiai Dimyati, Ali Maksum dianggap sudah mempunyai dasar yang kuat, selain tentunya dari bacaan itu juga diharapkan pemahaman Ali Maksum akan bertambah luas.

Dengan ketekunan dan kebiasaan membaca itu, tak salah jika Ali Maksum memiliki kelebihan jika dibanding dengan santri-santri lainnya. Salah satu dari kelebihan Ali Maksum itu adalah dalam hal penguasaannya terhadap bahasa Arab. Dari kelebihan itu, Ali bukan saja mampu memahami kitab kuning, tapi juga dipraktekkan ke aktivitas menulis dan berpidato. Tak pelak lagi kalau dari kepandaian menguasai bahasa Arab itulah, Ali Maksum kemudian dijuluki sebagai Munjid (kamus bahasa Arab) berjalan.

Dari semua bekal itu, Ali bersama dengan Hamid Dimyati, Rahmat Dimyati dan Muhammad Mahfudz, putra kiai Dimyati -yang dikenal dengan empat serangkai- kemudian merintis kembali berdirinya madrasah pesantren dan menjadikan buku-buku baru dari Mesir seperti, Al-Qira`ah, Al-Rasyidah, Al-Nahwu Al-Wadhih dan Al-Balaghah Al-Wadhihah sebagai kitab rujukan atau pegangan.

Di Termas, Ali Maksum juga ikut dalam kegiatan kepanduan. Dari modal dan bekal itulah, jiwa kepemimpinan Ali Maksum bisa terasah yang kemudian memberinya modal besar kepemimpinan untuk bisa memimpin pondok pesantren di kelak kemudian hari. Juga, dari kepanduan itu, jiwa nasionalisme Ali mencuat sebagaimana digelorakan oleh gerakan politik dan kepanduan. Tak salah, jika Ali sempat menjadi kepala kepanduan di pesantren Termas.

Pemikiran dan Kiprah KH. Ali Maksum
Sepulang dari Termas itu, Ali Maksum ditugasi ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren Al-Hidayah Lasem. Sebab sudah lama nyantri di Termas, maka Ali Maksum tak menemukan banyak kendala untuk mengajar di pesantren.

Lalu, saat usia Ali Maksum memasuki 23 (tahun 1938) dan dianggap layak memasuki jenjang pernikahan, atas inisiatif ayahnya, Ali Maksum dinikahkan dengan Hasyimah, putri KH. Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tetapi, tidak lama setelah jadi menantu KH. M. Munawwir al-Hafidh al-Muqri, Krapyak, KH Ali Maksum mendapatkan tawaran dari H. Junaid, seorang saudagar dari Kauman (Yogyakarta) untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Kesempatan itu, tak disia-siakan oleh KH Ali Maksum. Dengan senang hati, KH. Ali Maksum menerimanya. Sebab, selain untuk berhaji Ali juga mau belajar di Mekkah. Karena itulah saat di Makkah, KH Ali Maksum tidak mau menyia-nyiakan waktu, sehingga beliau mengaji dengan serius secara tabarrukan kepada para ulama Mekah, seperti: Sayyid Alwi Al- Maliki Al-Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya. Di Mekkah, KH. Ali Maksum belajar kurang lebih selama 3 tahun.

Sepulang dari Mekah itu, pada tahun 1941 KH Ali Maksum kembali ke tanah air dan tinggal di Lasem membantu ayahnya dalam usaha mengembangkan pesantren Al-Hidayah, Lasem. Apalagi, saat itu Indonesia sedang dalam masa penjajahan (Perang Dunia II) sehingga pondok sepi karena banyak santri tidak kembali ke pesantren. Tak salah jika pesantren milik ayahnya pada saat itu nyaris bubar. Kendati demikian, KH. Ali Maksum tetap saja teguh dan tegar untuk memulihkan pesantren.

Setelah dua tahun KH. Ali Maksum membantu ayahnya mengembangkan pesantren al-Hidayah dan sudah nampak ada hasil memuaskan, justru dari keluarga Krapyak tiba-tiba meminta KH Ali Maksum untuk meneruskan pesantren Krapyak, karena tahun 1942 KH. Munawwir wafat. Akhirnya, KH Ali Maksum meninggalkan kota Lasem dan meneruskan untuk memimpin pesantren Krapyak, Yogyakarta. Dalam rangka meneruskan pesantren itu, KH. Ali Maksum berniat melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama dengan KH Abdullah Affandi Munawwir dan KH. Abdul Qadir Munawwir, saudara iparnya.

Pesantren Al-Munawir didirikan tahun 1910 dan merupakan cikal bakal pesantren al- Qur'an di Indonesia. Tetapi kedatangan KH Ali tidak mengubah ciri khas pesantren. Dengan kata lain, KH Ali tetap mempertahankan bidang al-Qur`an, namun kemudian menambahkan dengan pengajian kitab serta mendirikan madrasah –dengan pola semi modern. Perubahan dengan menambahkan pengajian kitab dan madrasah yang dilakukan KH. Ali Maksum tak bisa diingkari ternyata berkembang dan dalam sejarahnya telah “mencetak” beribu santri, di antaranya KH Abdurrahman Wahid, KH. Musthafa Bisri dan masih banyak lagi.

Tak diragukan, kalau KH Ali adalah seorang kiai yang alim. Selain itu, penguasaannya terhadap bahasa Arab juga cukup mumpuni sehingga wawasan dan pengetahuannya cukup luas. Dapat dipahami, jika KH Ali Maksum selain dikenal sebagai pengasuh pesantren, juga sempat diminta untuk jadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, KH Ali Maksum juga menulis beberapa kitab,seperti Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Hujjah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, Ilmu Mantiq.

Dalam kitab Hujjah Ahlis Sunnah wal Jama'ah itu, KH Ali Maksum menekankan akan betapa pentingnya ukhuwah Islamiyah. Sebab tak dapat dimungkiri kalau dalam sejarah Islam seringkali terjadi perselisihan paham, dan seringkali pula menjadi pemicu perseteruan. Karena itu, KH Ali Maksum berpesan meskipun di tengah antara ulama ada perbedaan, toh tidak harus menjadi satu alasan untuk saling menghujat dan bertengkar. Dengan kata lain, haruslah tetap mementingkan adanya ukhuwah Islamiyah di tengah kehidupan umat.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, KH Ali Maksum juga tidak ketinggalan terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Hal itu semata-mata dilakukan untuk menyuarakan aspirasi umat. Karena di mata KH Ali, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, maka bukan satu keniscayaan jika beliau menutut akan jaminan keagamaan yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Lebih dari itu, kiai satu ini juga memandang “peran politik” adalah bagian penting yang tak bisa diabaikan oleh umat Islam. Karena dengan berpolitik, menurut KH Ali, wadah musyawarah seperti yang dianjurkan Islam bisa dijadikan “ajang” untuk menyuarakan suara umat.

Dari segi paham keagamaaan, KH Ali memang dikenal sebagai ulama berpandangan luas. Salah satu pandangan KH Ali yang cukup moderat adalah mengenai pintu ijtihad yang dinilainya masih terbuka, dengan tetap memberikan prosedur secara obyektif. Selain itu, KH Ali juga dikenal sebagai kiai yang tidak berpandangan sempit dengan membatasi pandangan keagamaan hanya pada teks-teks kitab yang dihasilkan para ulama.

Apalagi, menurut KH Ali Maksum tidak sedikit kitab ulama klasik yang ditulis pada masa lalu yang memiliki perbedaan koteks sosial dengan keadaan masa kini, sehingga tidak salah KH Ali berpendapat jika sangat sulit juga mengamalkan Sullam Al-Taufiq untuk konteks sekarang ini.

Sementara itu, di tahun 1980-an keterlibatan NU dalam politik praktis boleh dikata mengakibatkan jamaah NU menjadi rapuh. Karena itu, ketika dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Yogyakarta 30 Agustus-3 September 1981, KH Ali Maksum terpilih menjadi Rois Am PBNU menggantikan KH. Bisri Syansuri, langkah untuk melakukan perubahan di tubuh NU pun mulai dirancang. Tidak dimungkiri, sejak itu langkah perubahan di tubuh NU mulai terjadi yang kemudian berpuncak pada Muktamar ke-27 di Situbondo, akhir 1982 dengan ditetapkannya prinsip kembali ke Khittah 1926.

Dengan keputusan itu, secara konseptual NU menyatakan telah independen, tak ada hubungan secara formal maupun informal dengan kekuatan politik tertentu. Ini jelas satu perubahan besar, mengingat NU merupakan partai politik terbesar yang berfusi dalam PPP sehingga hal itu berdampak langsung pada perimbangan kekuatan organisasi politik yang ada. Sejarah Situbondo memang merupakan sejarah monumental perubahan bagi NU, dan itu tak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh KH Ali Maksum sebagai Rais Am Syuriyyah. Selain itu, di bidang kemasyarakatan dan politik, KH Ali juga pernah menjadi anggota Majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim Orde Lama.

Dengan demikian, kiprah KH Ali Maksum baik dalam dunia pesantren maupun aksi di wilayah sosial kemasyarakatan perlu dicatat sebagai sosok yang menghantarkan perubahan. Di dunia pesantren, lewat pesantren Krapyak Yagyakarta, KH Ali Maksum boleh dikata telah merintis model atau sistem pendidikan semi modern yang tidak semata-mata mengajarkan kitab kuning, tetapi juga ilmu-ilmu lain. Selama dalam kepemimpinannya (pada kurun 1946-1989), pesantren Krapyak boleh dikata maju pesat lewat pendidikannya antara lain, Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyah Aliyah, Madrasah Diniyah Wustha, Madrasah Diniyah Ulya, Madrasah Sanawiyah, Madrasah Aliyah, tentunya selain pengajian kitab kuning mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai tingkat takhassus (spesialisasi) bahasa Arab dan Syariah, Madrasah Huffat.

Tak salah, jika di bawah kepemimpinan KH Ali, pesantren Krapyak telah melahirkan ratusan kiai. Dari keteguhan beliau pula, Pondok Krapyak Yogyakarta beberapa hari sebelum beliau wafat menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam'iyyah NU, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.

Tapi, muktamar itu hanya bisa diikuti dari pembaringan dan rupanya menjadi masa-masa akhir kekhitmatan beliau pada NU. Sebab, dua minggu setelah acara perhelatan itu, KH Ali wafat di usia 74 tahun. Sebuah perjuangan yang meninggalkan jejak penting dalam dunia pesantren dan eksistensi NU untuk tidak terlibat dalam dunia politik praktis. Sebuah kiprah perjuangan yang patut untuk kita diteladani. (Nur Mursidi/dari berbagai sumber)

kh. ali maksum: kiai pembawa angin perubahan
majalah hidayah edisi 48 juli 2005



Comments

Popular posts from this blog

Isrti dan anak KH. Ali Maksum

Dzikr “Sangkan Paraning Dumadi”

Metode Shorof Pondok Krapyak Yogyakarta