Metode Shorof Pondok Krapyak Yogyakarta
1. Pendekatan Shorof
dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Ilmu Shorof merupakan salah satu cabang dari ’ulumul lughah
al-’Arabiyah (ilmu bahasa Arab) yang memiliki peranan yang cukup penting di
samping ilmu Nahwu. Hubungan diantara kedua ilmu (shorof dan nahwu) ini
tidak dapat dipisahkan, diibaratkan hubungan antara ibu dan bapak yang saling
membutuhkan dan melengkapi. Sebagian ulama mengatakan: الصَّرْفُ
أُمُّ الْعُلُوْمِ وَ النَّحْوُ أَبُوْهَا, bahwa shorof adalah ibu/induk
segala ilmu, sedangkan nahwu adalah bapaknya. Bedanya, ilmu shorof
membahas suatu ”kata” atau ”lafazh” sebelum masuk kedalam susunan kalimat,
sedangkan ilmu nahwu adalah membahas suatu ”kata” atau ”lafazh” ketika
sudah masuk didalam susunan kalimat.[1] Kedua ilmu ini merupakan materi pengajaran pokok di
pesantren-pesantren pada umumnya, disebabkan kedudukannya sebagai ilmu alat
(perantara) atau prasyarat untuk mampu menguasai (segi pembacaan dan
penulisan secara benar) dan mengungkap isi kandungan seluruh Kitab Kuning
yang sering disebut dengan ”kitab gundul”.[2] K.H. Ali Maksum
pernah mengatakan, bahwa bahasa Arab justru menjadi kunci pembuka yang paling
utama. Sebab Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan kitab-kitab tafsir serta syarah-syarah
hadis semuanya tertulis dalam bahasa Arab. Tanpa menguasai ilmu bahasa arab,
seorang santri mustahil dapat menguasai secara baik kitab-kitab kuning. [3]
Namun Kiai Ali mengakui, bahwa metode belajar
konvensional yang biasa diterapkan di pesantren terlalu memakan waktu lama, sehingga
menghabiskan umur, karena yang dijadikan ukuran bahwa seorang santri dipandang
telah memahami bahasa Arab ialah jika ia mampu menguasai kitab Syarah Ibnu
’Aqil, sementara untuk dapat memahami kitab ini, seorang santri harus
mempelajari bahasa Arab secara sistimatis dan bertahap, mulai dari kitab-kitab
taraf rendah sampai yang tertinggi, yang biasanya berurutan mulai dari kitab Jurumiyah,
’Imrithy, Mutammimah, dan terakhir Alfiyah Ibnu Malik dengan
syarahnya Ibnu ’Aqil. Cara belajar yang konvensional seperti ini
membutuhkan waktu yang lama. Hal ini tentu saja memperkuat anggapan bahwa
bahasa Arab sangat rumit dan sulit dipelajari, bahkan menjadi momok yang
menakutkan bagi sekelompok pelajar-mahasiswa perguruan Islam.[1][4] Akibat dari anggapan ini, maka minat belajar
bahasa Arab di kalangan kaum muslimin, terutama di kalangan generasi mudanya
dari waktu ke waktu semakin menurun. Padahal mempelajari bahasa Arab merupakan
tuntutan syar’i, sebagaimana sabda Nabi :
تَعَلَّمُوْا
الْعَرَبِيَّةَ وَ عَلِّمُوْهَا النَّاسَ
Artinya: “Pelajarilah
bahasa arab, dan ajarkanlah kepada orang lain”
Ringkas kata, menurut pandangan Kiai Ali, mereka
kesulitan mempelajari bahasa Arab bukan karena dari segi ilmunya yang sulit
atau kosa katanya yang rumit, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaktepatan
metode yang diterapkan dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, Kiai Ali
kemudian menawarkan metode belajar bahasa Arab dengan pendekatan tashrif
atau shorof. Dengan pendekatan ini, kesulitan dan kerumitan kosakata dapat
teratasi, serta dapat mempersingkat masa tempuh belajarnya.
Pandangan Kiai Ali di atas diperkuat oleh K.H.A. Warson
Munawwir, penulis buku Al-Munawwir : Kamus Lengkap Arab – Indonesia, bahwa pendekatan tashrif atau shorof
merupakan kunci utama dalam mempelajari bahasa Arab, disamping juga pendekatan
ilmu Nahwu. Karena dengan penguasaan ilmu shorof ini, maka seseorang akan
memperoleh beberapa keuntungan, diantaranya :
1) ia
dapat memperpendek masa tempuh pembelajaran bahasa Arab;
2)
ia mampu mengatasi kerumitan
kosakata yang mungkin muncul;
3)
dengan menggunakan shorof sebagai
perangkat analisis struktur kata bahasa Arab, maka ia tidak perlu banyak
memerlukan buku Kamus;
4) atau setidaknya ia menjadi
terampil dan mudah mencari kata dalam kamus. Hal ini dikarenakan kamus bahasa
Arab pada umumnya disusun berdasar pola asal suku kata dasar, dan tidak
sepenuhnya berdasar pola alfabetis, dengan demikian ilmu shorof sangat
diperlukan dalam penggunaan kamus tersebut.[5]
Kiai Ali selanjutnya menjelaskan beberapa keuntungan
yang dapat diraih dari pendekatan shorof dalam pembelajaran bahasa Arab,
sebagai berikut[6] :
1). Kegunaan
dalam tahajji (mengeja) dan qira’ah (membaca).
Setelah
murid sudah mengenal mufrodatul huruf atau huruf hijaiyah, ia
dapat langsung diberi hafalan tashrif kalimah. Misalnya, ia disuruh men-tashrif
kalimah ”نَصَرَ - يَنْصُرُ” (secara ishtilahy atau lughawi) sampai selesai.
Lalu disuruh lagi men-tashrif kalimah ”رَسَمَ - يَرْسُمُ” sampai selesai. Dan
begitu seterusnya.
Dengan cara seperti
itu, maka dengan tanpa menggunakan cara mengeja yang bertele-tela, murid dengan
sendirinya akan mengenal dan dapat membaca kalimat-kalimat tertentu.
2). Kegunaan dalam khath (seni tulis)
Dengan
metode tashrif kalimah atau shorof, murid dengan sendirinya terlatih
menulis secara baik dan benar suatu huruf dalam berbagai bentuknya. Maksudnya,
dengan perintah menuliskan tashrif kalimah ”نَصَرَ - يَنْصُرُ”, berarti ia
mengulang-ulang tulisan huruf ن - ص dan ر dengan bermacam-macam
perubahan bentuknya.
3). Kegunaan dalam ketepatan makhroj (pengucapan huruf)
Dengan
mengulang-ulang tashrif kalimah, murid otomatis terlatih mengucapkan makhroj
secara benar. Karena itu guru sebaiknya mengajak murid mengucapkan tashrif
kalimah dengan suara keras dan fasih. Disamping itu mengajak murid
mengucapkan huruf-huruf tertentu lewat tashrif untuk tujuan ”tahqiqul
makhroj” (pengucapan huruf secara benar). Misalnya, untuk mengucapkan huruf
”خ” (خَاءْ), agar sesuai
dengan tahqiqul makhroj, guru cukup mencarikan kalimat yang mengandung
huruf ”خ”,
seperti kalimah : دَخَلَ - يَدْخُلُ atau خَرَجَ - يَخْرُجُ agar di-tashrif sampai selesai. Dengan demikian, guru
tidak perlu lagi menggunakan metode lama untuk tahqiqul makhroj,
seperti :
خَاخًا خَلِخَنْ مِنَ
الْمُخْنِ مَخَاخًا خَلِخَا
Karena cara
seperti itu, menurut Kiai Ali, disamping tidak memberikan dasar-dasar
pengetahuan bahasa Arab, juga tidak mengandung makna, karena susunan kalimat
seperti itu tidak pernah dijumpai dalam bahasa Arab.
4). Kegunaan dalam imla’
(dikte)
Imla’ atau dikte biasa digunakan ustadz untuk menguji kemampuan dan kecermatan santri dalam
menangkap kalimat Arab, sekaligus menuliskannya. Misalnya ustadz mengucapkan
satu kalimat, lalu santri menuliskannya, dan begitu seterusnya. Maka dengan
model tashrifan, ustadz cukup menyebut satu kalimat, misalnya ”ذَهَبَ”, kemudian
menyuruh santri untuk menuliskan dan meneruskan tashrifannya.
5). Kegunaan
dalam memperluas perubahan-perubahan bentuk kalimat
Belajar
bahasa Arab dengan pendekatan shorof ini, menurut Kiai Ali berarti sekaligus
belajar dasar-dasar ilmu nahwu. Karena, selain santri dan ustadz memperoleh
perbendaharaan kata / kosakata yang banyak, sekaligus juga dapat mengenal
perubahan bentuk (shighat) kalimat, seperti sighat fi’il madhi, fi’il mudhori’, fi’il amar, isim fa’il,
isim maf’ul, isim tafdhil, isim mubalaghah, dan sebagainya. Dengan demikian,
murid tidak akan lupa atau ”pangling” dengan perubahan bentuk kalimat
tersebut, dan dengan sendirinya ia telah menguasai dasar-dasar ilmu nahwu, sehingga
pada tahap berikutnya sangat mudah baginya untuk diperkuat dengan kaidah-kaidah
nahwiyah.
2. Metode Pengajaran
Shorof Model K.H. Ali Maksum
Pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan shorof
sebenarnya sudah cukup membantu mempersingkat masa belajar. Namun metode
pembelajaran shorof yang telah ada dirasa kurang praktis, masih bertele-tele,
serta masih ditemukan adanya pemborosan energi, tenaga dan waktu, disebabkan
adanya kata-kata atau kalimat yang semestinya tidak termasuk unsur pokok dalam pentashrifan,
lalu ikut-ikutan di-tashrif. Misalnya tashfrif model K.H.
Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang yang mengikutsertakan kata-kata ”فَهُوَ” dan ”وَذَاكَ” yang
sebenarnya tidak perlu, dikarenakan bukan termasuk unsur penting dalam
pentashrifan.
Atas dasar itu maka Kiai Ali mencoba menawarkan metode
pembelajaran shorof yang disusun sedemikian rupa sehingga lebih mudah
dipelajari, relatif lebih praktis dan fungsional, tidak bertele-tele, serta
tidak terjadi adanya pemborosan tenaga (energi) dan waktu dalam proses
pembelajarannya.
Bila dibandingkan dengan metode pembelajaran shorof
model Jombang, metode pembelajaran shorof temuan Kiai Ali Maksum ini memiliki
ciri khas dan perbedaan yang cukup menonjol dari segi pentashrifan secara ishtilahiy,
sedangkan dari segi pentashrifan secara lughawiy relatif sama.
Ciri khas dan perbedaan tersebut sebagai berikut:
1)
adanya pengklasifikasian secara
tegas antara bentuk fi’il dan isim;
2) pembuangan
kata-kata ”فَهُوَ”
dan ”وَذَاكَ” yang
sebenarnya tidak termasuk unsur penting dalam pentashrifan, sekedar sebagai
variasi;
3) tidak
mencantumkan dalam pentashrifan beberapa bentuk (shighat) kata/kalimat
yang dipandang kurang berfungsi dan jarang digunakan dalam penggunaan bahasa
Arab sehari-hari, seperti mashdar mim (المصدر الميم) dan isim
alat (اسم الألة);
4) tidak
mencantumkan bentuk fi’il nahi (الفعل النهي) dalam pentashrifan, karena
merupakan bagian dari pembahasan ilmu nahwu;
5) bentuk-bentuk
kata yang ditashrif terdiri dari 8 unsur pokok yang secara urut terdiri dari sighot:
a) fi’il madhi; b) fi’il
mudhori’; c) fi’il amar; d) isim mashdar; e) isim fa’il; f) isim maf’ul; g dan h) isim zaman dan isim makan.
Dengan
demikian, pola dan metode shorof temuan Kiai Ali ini nampak menjadi lebih
sederhana, praktis dan sistimatis, sehingga lebih mempermudah santri dalam
mempelajari ilmu shorof dan bahasa Arab pada umumnya, dan pada gilirannya nanti
akan lebih mengefektifkan proses pembelajaran dan mengefisienkan
(mempersingkat) masa belajar santri.
Coba perhatikan perbedaan antara pola pentashrifan
metode ”Krapyak” (tabel 10) dan metode ”Jombang” (tabel 11) berikut ini :
Tabel 10
Pola Tashrif
Ishthilahiy Metode Krapyak
اسم
|
فعل
|
صيغة
|
|||||
الزمان و المكان
|
المفعول
|
الفاعل
|
المصدر
|
الأمر
|
المضارع
|
الماضي
|
|
7-8
|
6
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|
مَنْصَرٌ - 2× َ
|
مَنْصُوْرٌ
|
نَاصِرٌ
|
نَصْرًا
|
اُنْصُرْ
|
يَنْصُرُ
|
نَصَرَ
|
وزن 1
|
مَضْرِبٌ - 2×
|
مَضْرُوْبٌ
|
ضَارِبٌ
|
ضَرْبًا
|
اِضْرِبْ
|
يَضْرِبُ
|
ضَرَبَ
|
وزن 2
|
مَفْتَحٌ - 2×
|
مَفْتُوْحٌ
|
فَاتِحٌ
|
فَتْحًا
|
اِفْتَحْ
|
يَفْتَحُ
|
فَتَحَ
|
وزن 3
|
مَحْمَدٌ - 2×
|
مَحْمُوْدٌ
|
حَامِدٌ
|
حَمْدًا
|
اِحْمَدْ
|
يَحْمَدُ
|
حَمِدَ
|
وزن 4
|
مَكْرَمٌ - 2×
|
-
|
كَرِيْمٌ
|
كَرَامَةً
|
اُكْرُمْ
|
يَكْرُمُ
|
كَرُمَ
|
وزن 5
|
مَحْسَبٌ – 2×
|
مَحْسُوْبٌ
|
حَاسِبٌ
|
حِسْبَانًا
|
اِحْسَبْ
|
يَحْسَبُ
|
حَسِبَ
|
وزن 6
|
Tabel 11
Pola Tashrif
Ishthilahiy Metode Jombang
اسم ألـة
|
زمان و مكان
|
فعل نهي
|
فعل أمر
|
اسم مفعول
|
اسم ضمير
|
اسم فاعل
|
اسم ضمير
|
مصدر ميم
|
اسم مصدر
|
فعل مضارغ
|
فعل ماضي
|
|
13
|
11-12
|
10
|
9
|
8
|
7
|
6
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|
مِنْصَرٌ
|
مَنْصَرٌ -2× َ
|
لَاتَنْصُرْ
|
اُنْصُرْ
|
مَنْصُوْرٌ
|
وَذَاكَ
|
نَاصِرٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَنْصَرًا
|
نَصْرًا
|
يَنْصُرُ
|
نَصَرَ
|
1
|
مِضْرَبٌ
|
مَضْرِبٌ -2×
|
لَاتَضْرِبْ
|
اِضْرِبْ
|
مَضْرُوْبٌ
|
وَذَاكَ
|
ضَارِبٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَضْرَبًا
|
ضَرْبًا
|
يَضْرِبُ
|
ضَرَبَ
|
2
|
مِفْتَحٌ
|
مَفْتَحٌ -2×
|
لَاتَفْتَحْ
|
اِفْتَحْ
|
مَفْتُوْحٌ
|
وَذَاكَ
|
فَاتِحٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَفْتَحًا
|
فَتْحًا
|
يَفْتَحُ
|
فَتَحَ
|
3
|
مَحْمَدٌ -2×
|
لَاتَحْمَدْ
|
اِحْمَدْ
|
مَحْمُوْدٌ
|
وَذَاكَ
|
حَامِدٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَحْمَدًا
|
حَمْدًا
|
يَحْمَدُ
|
حَمِدَ
|
4
|
|
مَكْرَمٌ -2×
|
لَاتَكْرُمْ
|
اُكْرُمْ
|
-
|
-
|
كَرِيْمٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَكْرَمًا
|
كَرَامَةً
|
يَكْرُمُ
|
كَرُمَ
|
5
|
|
مَحْسَبٌ –2×
|
لَاتَحْسَبْ
|
اِحْسَبْ
|
مَحْسُوْبٌ
|
وَذَاكَ
|
حَاسِبٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَحْسَبًا
|
حِسْبَانًا
|
يَحْسَبُ
|
حَسِبَ
|
6
|
Metode shorof atau Tashriful kalimah model Kiai
Ali yang diberi nama ”الصَّرْفُ الْوَاضِحُ” ini merupakan ”temuan baru” yang beliau ciptakan ketika masih
mondok di Tremas pada tahun 1927-1935 dan langsung diujicobakan kepada
para santri di Madrasah Diniyah Pesantren Tremas yang beliau dirikan bersama ahli
bait (keluarga mDalem) pesantren, dan hasilnya ternyata cukup
menggembirakan. Menurut K.H. Habib Dimyati, shorof model Kiai Ali ini masih
dihafal dan dikembangkan oleh sebagian alumni pesantren Tremas, bahkan keluarga
pesantren.[7] Sejak diselenggarakannya sistem
madrasah di Pesantren Al-Munawwir pada
tahun 1946 dan K.H. Ali Maksum menjadi salah satu diantara pengasuhnya, metode
shorof ini diterapkan hingga sekarang.
Metode ini kemudian dikembangkan oleh sebagian alumninya
di daerahnya masing-masing, dan lahirlah beberapa buku shorof yang mengacu
kepada metode ini, diantaranya :
1). Ash-Sharful
Wadhih, karya K.H. Ali Maksum.
2). Al-Maqoyis
: Materi Pelajaran Shorof Metode K.H. Ali Maksum, tulisan Drs. H. Nur Hadi,
diterbitkan oleh cv Kota Kembang Yogyakarta, t.t.
3). Ash-Shorful
Wadhih : Shorof Praktis Metode Krapyak, tulisan Drs.
Muhtarom Busyro, diterbitkan oleh Multi Karya Grafika Pondok Krapyak Yogyakarta
(1995), dan Menara Kudus Jogjakarta (2003).
4). Materi kajian Shorof “الصَّرْفُ الْوَاضِح”, jilid
1 dan 2, oleh Achmad Suchaimi, Surabaya : P.P. Roudlotut Tholibin - untuk
kalangan sendiri. cet. 1 - 2004, cet.2 – 2005
Comments
Post a Comment